Sebagai nakhoda pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur, Bapak DR. H. Awang Faroek Ishak sangat menyadari bahwa hukum alam tak akan dapat dicegah, SDA itu terbatas dan hari demi hari stok SDA tak terbaharukan itu kian menipis. Itu pula yang tergambar pada latar belakang buku Visi Kaltim 2030 Pertumbuhan Ekonomi Hijau Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan, Sebuah Pemikiran Kebijakan Transformasi Ekonomi Pasca Migas dan Batubara.
Fakta-fakta lengkap disajikan pada lembar berikutnya, meliputi Baseline Dinamika Wilayah Kalimantan Timur, Posisi Geo-Eko Strategis Kaltim, Tantangan Transformasi Ekonomi, dan Pengembangan Kawasan Industri yang tengah digalakkan, Komitmen Green Economy, Infrastruktur Mendukung Percepatan pengembangan Kawasan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Ketimpangan Wilayah. Itu semua bermuara pada jawaban mengapa begitu pentingnya mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, yang bergeser atau bertransformasi dari ketergantungan perekonomian sektor ekstraktif atau berbasis unrenewable resources menuju renewable resources.
Menu utama tranformasi ekonomi dalam buku ini berupa target terukur melalui 7 strategi transformasi ekonomi Kaltim secara simultan, yakni pembatasan produksi sektor primer (batubara), pengembangan industri bernilai tambah tinggi dan ramah lingkungan, produktivitas sektor pertanian dalam arti luas, pengembangan industri turunan migas dan batubara, industri berbasis pertanian dalam arti luas, pengembangan energi baru dan terbarukan serta pengembangan sektor jasa, perdagangan dan keuangan dan pengembangan infrastruktur pendukung Industri.
Agar konsep ini lebih bisa dipahami, perbedaan strategi tersebut digambarkan ke dalam 2 skenario yakni skenario tanpa strategi transformasi ekonomi dan skenario dengan strategi transformasi ekonomi. Skenario tersebut dikembangkan melalui skema atau kerangka periodisasi yang terkait satu dengan lainnya yakni Periode Inisiasi (2013), Pengembangan Kapasitas (2015), Pengembangan Industri (2020) dan akhirnya Periode Target Transformasi Ekonomi melalui Pengembangan Ekonomi – Inovasi (2030).
Hasil akhirnya adalah Kaltim sebagai provinsi yang tak lagi bergantung pada sektor minyak, gas dan batubara atau nonrenewable resources tapi kepada sektor-sektor pariwisata, pertanian dalam arti luas, industri-industri hilirnya dan sektor-sektor renewable resources lainnya.
Buku ini kian menarik karena tergambar jelas bagaimana kuatnya komitmen Kaltim untuk tetap fokus menuntaskan pembangunan kawasan industri yang menghubungkan 10 kabupaten/kota, sehingga percepatan pengembangan ekonomi dapat dilakukan. Delapan kawasan industri ini akan menjadi masa depan bagi Kaltim, baik dari sisi pertanian tanaman pangan, industri perkebunan dan turunannya, industri pariwisata, maupun industri petrokimia.
Pengembangan kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, peluang bisnis, dan demi menyediakan kawasan industri berdaya saing tinggi. Guna mendukung pengembangan kawasan ini, infrastruktur pendukung merupakan hal yang perlu diperhatikan baik infrastruktur jalan, laut, maupun infrastruktur udara harus bisa terkoneksi ke kawasan tersebut.
Mengamati apa yang terjadi dalam kurun waktu terakhir ini, impian yang tertuang sebagai visi 2030 tersebut memang tidaklah sederhana. Komoditas yang menjadi penopang perekonomian Kaltim batubara dan migas lebih dahulu mengalami penurunan harga komoditas yang tajam, sebelum memasuki periode/strategi pembatasan atau pengurangan produksinya. Penurunan penerimaan pemerintah pusat berbasis komoditas tersebut beriringan dengan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang diterima Kaltim. Kaltim yang struktur perekonomiannya masih didominasi oleh sektor ekstraktif sempat mengalami kontraksi. Sebagai daerah dengan kapasitas fiscal yang tinggi, Dana Alokasi Umumpun tak bisa lagi diandalkan.
Terlepas dari beberapa keraguan akan tercapainya Visi Kaltim 2030 tersebut, buku ini perlu analisis dari berbagai kalangan termasuk dari akademisi. Penulis buku ini tentu membuka kesempatan bagi siapa saja untuk mengemukakan ide dan pemikirannya, guna mendukung perancangan visi tersebut sebagai continuous improvement.
Pemikiran tajam yang tertuang dalam buku sejumlah 136 halaman ini tentu saja memerlukan program aksi yang terarah dan didahului dengan publikasi yang luas sehingga visi tersebut benar-benar dipahami oleh berbagai elemen masyarakat, bahkan buku ini yang diharapkan menjadi acuan bagi Bupati/Walikota dalam menetapkan Visi Misi untuk Perencaan Pembangunan di daerahnya masing-masing.
Niat dan tekad kuat harus pula dibarengi untuk menjadikan Visi Kaltim 2030 menjadi keniscayaan. Bukan hanya sebuah gagasan, konsep, dan teori, tetapi produk buah pikiran dari sang visioner yang berwujud kenyataan dan konkret. Melalui berbagai pembicaraan secara luas, semua elemen masyarakat diharapkan memahami kemana Kalimantan Timur akan dibawa. Gerak dan perjalanan Kalimantan Timur menjadi jelas dan terarah, dan Visi tersebut akan disematkan sebagai kebanggaan bagi kita bersama dalam membangun Kalimantan Timur ke depan.
Untuk mewujudkannya, tentu saja perlu dukungan nyata, kerja keras dan kerja cerdas dari semua kalangan. Sebagaimana pepatah Jepang terkenal, “Vision without action is a daydream but action without vision is a nightmare.” Visi bukan hanya sekedar mimpi indah, namun visi akan tetap menjadi mimpi indah tanpa usaha keras dan cerdas dalam mewujudkannya. (*)
Judul Buku : Visi Kaltim 2030 : Pertumbuhan Ekonomi Hijau Yang Berkeadilan Dan Berkelanjutan : Sebuah Pemikiran Kebijakan Transformasi Ekonomi Pasca Migas Dan Batubara
Pengarang: Tim penulis : DR.H. Awang Faroek Ishak, DR. Ir. H. Rusmadi, MS, dkk
Penerbit: MGU
Tahun terbit : Juli 2013
Jumlah hal: 136 halaman
Peresensi: Inni Indarpuri
Sumber buku: Perpustakaan Biro Humas Setda Prov. Kaltim (Subbag Data dan Informasi)